Kamis, 12 Februari 2015

Sebungkus Nasi



Sore itu kuberjalan menyusuri barisan gerbong kereta tua yang sudah pensiun. Ketika aku berada di samping salah satu gerbong kereta tua dengan jendela yang sudah retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyayat hati.
“Bu...  lapar....”
Kupertajam indera dengarku.
“Bu, pengen makan....”
iya nak, ibu tahu kau lapar . Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak ya....”
“Bu... aku lapar.”
“Iya nak, ibu tahu. Tunggu bapakmu.”
Aku tak berdaya mendengarnya. Kuingin membantu, tapi... nasibku serupa. Sudah sejak pagi tadi perutku hampa. Hanya air mineral yang bias kuteguk. Itu pun hanya setengah botol yang tersisa. Beruntung kutemukan botol air itu di kursi gerbong paling ujung. Tak biasanya aku kehabisan barang penumpang yang tertinggal.
“Bu, lapar....”
“Iyaaaa... nak... tunggu bapakmu.”
Tiba-tiba kulihat di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber suara yang kudengar tadi.
“Nak, Tuhan mendengarmu .Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”
“Bu, bapak pulang.”
“Bapak... Ara lapar, mau makan.”
“Iya, nak, bapak juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena presiden kita mau menaikkan harga BBM. Semoga terus setiap hari berita itu muncul.”
“Pak, Ara lapar. Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”
“Iya, nak .Bapak tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”
“Iya pak, makasih.”
“Bukan ke bapak nak, tapi ke Presiden kita.”
“Emang makanan ini dari Presidenya pak?”
“Iya nak, karena Presiden mau menaikkan BBM, hari ini Bapak dapat makanan.
“Pak Presiden yang ngasih nasi bungkus ini pak? Bapak tadi ketemu Presidenya? Bapak hebat. Ara mau ketemu Presiden pak. Ara mau bilang makasih ke Presiden. Bapak antarkan Ara ya....”
“Sudah, kamu makan dulu sana.... Habiskan ya nak.”


Sesaat ku terdiam .Kurenungkan dialog bapak dan anak itu. Presiden member nasi bungkus? Kepada Bapak tua yang tinggal di gerbong? Telingaku terganggukah? Bermimpikah aku? Atau memang benar sang Presiden sebaik itu??
Alangkah baiknya sang Presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku terharu.
Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat? ?Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.
BBM naik, Presiden memberi nasi bungkus. Apa hubungannya???
Otakku yang kerdil ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung di tengah kelinglunganku aku limbung. Aku tertidur degan perut yang hanya terisi air mineral setengah botol, yang tadi tertinggal.
Keesokan paginya kuterbangun, seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong berharap ada makanan atau barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dan seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.
Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, kuberjalan susuri barisan gerbong-gerbongtua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang Bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari Presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.
Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka, kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang Presiden memberikan nasi bungkus kepada Bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik??
Dengan sabar kutunggu si Bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yg sudah kuhapal.
“Bu, lapar... mau makan.”
“Iya nak,  tunggu Bapak pulang.”
Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang Bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk  anaknya.
“Pak, lapar....”
“Iya nak, nih Bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu.Ini dari Presiden juga, nak.”
“Bapak ketemu pak Presiden lagi?”
Sang Bapak tua tak menjawab. Iamalah menjawab seperti tadi.
“Nasi ini dari Presiden kita, nak.”
Lalu meminta anaknya makan.
“Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak Presiden.
Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik Bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan makanannya.
“Bapak benar bertemu Pak Presiden? Benar Bapak diberi nasi bungkus oleh Presiden ? Benar Bapak.... Benar  Bapak....”
Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang Ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.
Hahahaha, ternyata rasa penasaranku takkalah dengan sang Ibu. Dalam hatiku merasa sebentar lagi penasaran itu kan terjawab.
Dengan tenang sang Bapak memegang kedua pundak sang Ibu.
“Bu, kita ini siapa ? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia tak mengenal kita Bu, dia takkenal Bapak. Lagi pula Ibu percaya bahwa Presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita??”
“Tapi Pak.... Beberapa hari ini Bapak bilang dapat nasi bungkus dari  Presiden.”
“Bu...,  Bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
“Lalu Pak.... Dari mana nasi bungkus itu?”
Rasa penasaranku semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
“Bu, Bapak beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka katanya menolak kenaikan BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM, Bapak juga tak peduli siang-malam kita tidak berhubungan dengan BBM. Yang Bapak tahu, menurut teman-teman pemulung lainnya, di sana ada demonstrasi. Mereka menolak BBM naik.
Kata mereka, setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat untuk makan siang. Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang yang datang membawa makanan, nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan kepada para pendemo. Tukang becak, pengemis, dan pemulung yang ada di sana dikasih juga, Bu.

Beberapa hari ini Bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi, Bapak juga dapat bagian. Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi bungkus itu. Bapak Cuma tahu pak Presiden ingin menaikkan harga BBM. Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat Presiden, nasi ini dari Presiden.

Seketika aku tergagap, aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik hati, Presiden memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.


Karya: Indah Pertiwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar