Senin, 01 Juni 2015

Romantika Katek dan Boiler


                         

   Setelah kejadian itu terjadi kini dalam kandang kayu yang rentan kropos  itu hanya tersisa satu ayam. Ayam itu tetap bertahan, dari penyakit ganas yang sering menimpa unggas lainnya. Yaa.. penyakit itu sangat ganas bagi kaum ayam, sebab ayam bisa pusing, meriang, masuk angin, nyeri-nyeri dibagian tertentu, sesak nafas, panas tenggorokan, susah buang air besar pada tempatnya, pantat tersumbat, kutu menahun dan lain-lain. Penyakit itu adalah flu burung, flu yang ditularkan oleh burung, burung yang ngak punya burung.. ehhh maksudnya burung yang punya burung tapi bentuknya bukan kayak burung. Nah itu sudah, kita ngak perlu panjang lebar bahas burung. Kita kembali ketopik, yahh ayam yang tersisa itu adalah seekor ayam pada umumnya, tapi dari spesies yang berbeda. Dia berasal dari spesies ayam katek, ayam yang berpostur kecil namun lincah dan gesit.

   Sekarang sudah 1 bulan ayam itu sendiri, dia melewati hari-harinya dengan sendiri, makan sendiri, tidur sendiri, berkokok sendiri, dan poop pun sendiri. Hari terus bergulir, air terus mengalir, dan mata ayam katek pun berair. Yaa.. dia sedih, lebih tepatnya galau. Dalam kalangan unggas hal ini cukup fenomenal, karena bukan manusia saja yang bisa galau, tapi ayam juga bisa. Karena ayam juga ayam, jadi bisa saja itu terjadi, memang hal ini sangat sulit untuk diteliti secara ilmiah. Kita hanya bisa menyelami pikiran ayam saja, agar kita tau dia sedang galau atau tidak. Dari hari kehari sikap ayam katek makin aneh, biasanya dia berkokok seperti layaknya ayam biasa, tapi sekarang sudah berubah. Kokokkannya berirama lagu-lagu sendu dan melow. Si pemilik ayam pun merasa kasihan dan tersentuh hatinya, berbagai macam cara telah dilakukan sang pemilik ayam, namun hasilnya telur ayam alias nol. Akhirnya sang pemilik ayam berkonsultasi ke dokter hewan,

Si pemilik ayam: Dok.. ayam saya akhir-akhir ini memiliki keanehan yang tak seperti ayam biasanya, Dokter                : memangnya ayam bapak kenapa???
Si pemilik ayam: ayam saya sering murung dok, dia gundah gulana, geli tidak sah, dan geli sah.
Dokter                 : oh jadi gitu pak, keluhan lain ada?
Si pemilik ayam: ngak ada sih dok.. kayaknya cuma itu saja
Dokter                : jadi begini pak, ayam itu murung karena kesepian, sama seperti manusia. Manusia                    juga butuh pendamping agar tak kesepian. Mungkin itu penyebab ayam bapak merasa murung.
Si pemilik ayam: maksud dokter ayam saya harus kawin gitu, ya ngak bisa gitu dong dok. Ayam saya masih dibawah umur, belum saatnya dia menjalin hubungan resmi dengan ayam betina.
Dokter               : Bapak.. ini bukan masalah menjalin hubungan, tapi ini masalah penting. Masalah ini menyangkut masalah psikis ayam bapak. Jika bapak biarkan dia tetap seperti itu, bisa - bisa ayam bapak...
Si pemilik ayam: bisa apa dok??? (dengan raut wajah yang geram)
Dokter                : bisa-bisa ayam bapak...
Si pemilik ayam: bisa apa dooooooookk..??? (mulai mengepalkan tangannya)
Dokter                : bisa dibakar untuk lauk makan malam
Si pemilik ayam : hiks..hiks..hiks.. (mengusap air matanya sambil merangkul dokter, dan berbisik ke dokter. Kalo itu saya juga mau dok, uda lama ngak makan ayam.)
Dokter                : Jiaaaaaaaaa.... (-_-)

   Sepulang dari dokter, si pemilik ayam pun mengikuti nasihat dokter. Dia langsung bergegas mencari ayam betina untuk si ayam, tak tanggung-tanggung sang pemilik membuatkan sayembara untuk mencari calon ayam betina. Setelah memalui beberapa seleksi, dan ada yang tergeser, tereliminasi, terimunisasi. Saat memasuki 10 besar, persaingan mulai ketat seketat ikat pinggang. Semuanya masuk kategori, tapi sayangnya sang pemilik ayam hanya membutuhkan satu calon untuk sang ayam. Akhirnya setelah ditimang-timang kemudian ditimbang-timbang, terpilihlah satu calon ayam betina. Dia adalah ayam boiler kampung sebelah, dia sangat anggun dan menarik, hal inilah yang membuat pemilik ayam menobatkan dia sebagai juaranya.  Akhirnya ayam katek tak kesepian lagi, walaupun mereka tak satu kandang, tapi mereka mulai saling lirik melirik, hingga timbul benih-benih padi yang siap ditanam, ehhh salah... maksudnya benih-benih cinta. Sekarang ayam katek tak kesepian lagi, dia sudah bisa menikmati hari-harinya dengan ceria dan bahagia. Ayam boiler selalu menemaninya, disuasana suka maupun duka mereka selalu bersama.




   Namun kisah mereka harus berhenti atau bisa dibilang kandas ditengah jalan, lantaran sang pemilik ayam membawa ayam katek keluar daerah untuk mengikuti kompetisi ayam tingkat nasional. Sebelum sang pemilik dan si ayam pergi, sang pemilik ayam sudah mengirim si ayam boiler ke sahabat lamanya yang ada diluar negeri tanpa sepengetahuan ayam katek, lantaran sahabat lamanya itu tertarik dengan kelebihan ayam boiler tersebut. Sampai disana, ayam katek tersebut ternyata menjadi juara, dari sekian ribu ayam yang mengikuti kompetisi tersebut. Dengan perasaan bangga dalam hati, ayam katek berniat untuk menceritakan berita bahagia itu kepada ayam boiler. Saat si pemilik ayam dan ayam katek balik kerumah, ayam katek langsung cekatan berlari menuju kandang kesayangannya untuk menemui ayam boiler. Namun apa mau dikata, kandang yang dulunya diisi berdua itu, kini kosong tak berpenghuni. Ayam katek pun bersedih, ia menyesal telah pergi untuk mengikuti kontes tersebut, karena tak bisa menikmati perpisahan terakhir kali mereka. Ayam katek berharap si ayam boiler tetap ingat kepadanya dan tak melupakan kenangan-kenangan disaat bersama, serta menginginkan agar mereka bisa bersama kembali seperti dulu kala.



 
                                                                     




Kamis, 12 Februari 2015

Teriakkan Hati


  Gadis cilik bernama Adin Kalimatus  Sakdiyah. Adin, panggilan akrabnya. Bapak Adin, seorang petani yang penghasilannya belum tentu cukup untuk membuat Adin dan adiknya menikmati pendidikan yang lebih baik.
Pada suatu malam, ketika hujan baru saja berhenti, aku melihat Adin tengah membimbing adiknya belajar di ruang tamu yang hanya diterangi lampu temple itu. Adin duduk rapat di samping si adik. Dia mengajari adiknya dengan penuh cinta, kesabaran, dan kasih sayang, agar si adik menjadi anak pintar. Adin tentunya juga berharap dan berdo’a agar si adik kelak bisa menikmati pendidikan yang lebih baik dibanding dirinya.Adin baru menamatkan pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah. Seharusnya tahun ini sudah bisa sekolah di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.Tapi sungguh malang, karena ketidak mampuan orangtua Adin untuk membiayai sekolah, maka Adin pun hanya bisa diam di rumah.

  Adin hanya bisa melihat teman-teman seusianya berangkat kesekolah untuk menuntut ilmu, dengan tatapan sedih. Kerinduan akan indahnya dunia pendidikan hanya sebuah impian yang terus berkumandang di dalam hati gadis cilik ini. Adin hanya bisa pasrah menerima nasibnya. Dia tidak pernah tahu kapan kerinduan itu akan menjadi kenyataan.

  Kasihan engkau, Adin, diusia semuda ini harus kehilangan kebahagiaan karena kemiskinan.Teman-teman seusiamu dari kalangan mampu, dengan mudah menggenggam kebahagiaan mengenyam pendidikan yang mereka inginkan. Mereka yang mampu tidak akan mempermasalahkan biaya SPP anak-anaknya yang mencapai jutaan rupiah per bulan. Anak-anak keluarga mampu bias mendapat uang saku yang besar tiap bulannya, ditambah fasilitas telepon genggam, dan sopir pribadi. Begitu si anak pulang sekolah, tinggal telepon sopir, dan dalam sekejap, meluncurlah mobil mewah yang siap membawa si anak pulang kerumah.

  [Adin bersama Penulis, di suatu kesempatan berfoto bersama] Lain halnya dengan Adin dan jutaan anak miskin lainnya. Mereka hanya bisa bermimpi tanpa pernah tahu kapankah impian buruk itu akan berakhir. Ironis, kerinduan yang menggema dalam hati Adin dan jutaan anak miskin lainnya di bumi Indonesia tercinta ini, terungkap dalam sebuah harapan yang dinanti dan keluguan yang merintih.

“Lihatlah kami disini. Kami, bagian dari jutaan anak miskin yang punya cita-cita. Namun, cita-cita itu tak akan pernah terwujud jika engkau tak pernah mencintai kami. Kami ingin menggapai cita-cita itu, walau harus dengan perjuangan maha berat. Tak peduli orang tua kami miskin, kami akan siap meraih cita-cita itu. Tapi, apa karena miskin, maka kami tidak bias menikmati pendidikan yang lebih baik? Dan, apakah karena miskin, maka kami harus kehilangan masa depan yang kami dambakan?

  Tolong perhatikan nasib kami, perhatikan masa depan kami. Jangan biarkan kami tumbuh dewasa dengan bayangan hidup dirundung derita. Jangan biarkan ketika kelak kami dewasa, hanya bias menjadi buruh tani saja. Jangan biarkan ketika kelak kami dewasa, hanya bias hidup menjadi buruh cuci di negeri tetangga. Katanya Indonesia ini kaya raya? Gemah Ripah , LohJinawi pula? Ungkapan itu tak pernah terbukti. Karena saat ini kami, jutaan anak miskin di negeri ini, tak bias menikmati pendidikan yang memadai.


  Kembalikanlah cinta dan kepedulian yang kalian miliki kepada kami. Berikanlah cinta dan kepedulian itu. Kami, jutaan anak miskin di negeri ini menunggu dengan penuh harap. Jangan biarkan masa depan kami terenggut hanya karena kalian tak pernah peduli dan pura-pura tak tahu akan nasib kami. Indonesia memang negeri yang kaya, tapi kami lebih merindukan orang dengan hati yang kaya.



Karya: Indah Pertiwi

Sebungkus Nasi



Sore itu kuberjalan menyusuri barisan gerbong kereta tua yang sudah pensiun. Ketika aku berada di samping salah satu gerbong kereta tua dengan jendela yang sudah retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyayat hati.
“Bu...  lapar....”
Kupertajam indera dengarku.
“Bu, pengen makan....”
iya nak, ibu tahu kau lapar . Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak ya....”
“Bu... aku lapar.”
“Iya nak, ibu tahu. Tunggu bapakmu.”
Aku tak berdaya mendengarnya. Kuingin membantu, tapi... nasibku serupa. Sudah sejak pagi tadi perutku hampa. Hanya air mineral yang bias kuteguk. Itu pun hanya setengah botol yang tersisa. Beruntung kutemukan botol air itu di kursi gerbong paling ujung. Tak biasanya aku kehabisan barang penumpang yang tertinggal.
“Bu, lapar....”
“Iyaaaa... nak... tunggu bapakmu.”
Tiba-tiba kulihat di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber suara yang kudengar tadi.
“Nak, Tuhan mendengarmu .Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”
“Bu, bapak pulang.”
“Bapak... Ara lapar, mau makan.”
“Iya, nak, bapak juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena presiden kita mau menaikkan harga BBM. Semoga terus setiap hari berita itu muncul.”
“Pak, Ara lapar. Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”
“Iya, nak .Bapak tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”
“Iya pak, makasih.”
“Bukan ke bapak nak, tapi ke Presiden kita.”
“Emang makanan ini dari Presidenya pak?”
“Iya nak, karena Presiden mau menaikkan BBM, hari ini Bapak dapat makanan.
“Pak Presiden yang ngasih nasi bungkus ini pak? Bapak tadi ketemu Presidenya? Bapak hebat. Ara mau ketemu Presiden pak. Ara mau bilang makasih ke Presiden. Bapak antarkan Ara ya....”
“Sudah, kamu makan dulu sana.... Habiskan ya nak.”


Sesaat ku terdiam .Kurenungkan dialog bapak dan anak itu. Presiden member nasi bungkus? Kepada Bapak tua yang tinggal di gerbong? Telingaku terganggukah? Bermimpikah aku? Atau memang benar sang Presiden sebaik itu??
Alangkah baiknya sang Presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku terharu.
Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat? ?Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.
BBM naik, Presiden memberi nasi bungkus. Apa hubungannya???
Otakku yang kerdil ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung di tengah kelinglunganku aku limbung. Aku tertidur degan perut yang hanya terisi air mineral setengah botol, yang tadi tertinggal.
Keesokan paginya kuterbangun, seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong berharap ada makanan atau barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dan seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.
Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, kuberjalan susuri barisan gerbong-gerbongtua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang Bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari Presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.
Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka, kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang Presiden memberikan nasi bungkus kepada Bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik??
Dengan sabar kutunggu si Bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yg sudah kuhapal.
“Bu, lapar... mau makan.”
“Iya nak,  tunggu Bapak pulang.”
Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang Bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk  anaknya.
“Pak, lapar....”
“Iya nak, nih Bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu.Ini dari Presiden juga, nak.”
“Bapak ketemu pak Presiden lagi?”
Sang Bapak tua tak menjawab. Iamalah menjawab seperti tadi.
“Nasi ini dari Presiden kita, nak.”
Lalu meminta anaknya makan.
“Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak Presiden.
Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik Bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan makanannya.
“Bapak benar bertemu Pak Presiden? Benar Bapak diberi nasi bungkus oleh Presiden ? Benar Bapak.... Benar  Bapak....”
Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang Ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.
Hahahaha, ternyata rasa penasaranku takkalah dengan sang Ibu. Dalam hatiku merasa sebentar lagi penasaran itu kan terjawab.
Dengan tenang sang Bapak memegang kedua pundak sang Ibu.
“Bu, kita ini siapa ? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia tak mengenal kita Bu, dia takkenal Bapak. Lagi pula Ibu percaya bahwa Presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita??”
“Tapi Pak.... Beberapa hari ini Bapak bilang dapat nasi bungkus dari  Presiden.”
“Bu...,  Bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
“Lalu Pak.... Dari mana nasi bungkus itu?”
Rasa penasaranku semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
“Bu, Bapak beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka katanya menolak kenaikan BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM, Bapak juga tak peduli siang-malam kita tidak berhubungan dengan BBM. Yang Bapak tahu, menurut teman-teman pemulung lainnya, di sana ada demonstrasi. Mereka menolak BBM naik.
Kata mereka, setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat untuk makan siang. Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang yang datang membawa makanan, nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan kepada para pendemo. Tukang becak, pengemis, dan pemulung yang ada di sana dikasih juga, Bu.

Beberapa hari ini Bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi, Bapak juga dapat bagian. Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi bungkus itu. Bapak Cuma tahu pak Presiden ingin menaikkan harga BBM. Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat Presiden, nasi ini dari Presiden.

Seketika aku tergagap, aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik hati, Presiden memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.


Karya: Indah Pertiwi

Senin, 09 Februari 2015

Ayam Potong Anggora




   Hujan deras mengguyur dikala sore itu, kerasnya angin menyapu semua tumbuhan tinggi yang kokoh berdiri. Seperti biasa disetiap sore-sore seperti ini Aku beserta Ayah, Ibu dan Adik kumpul bersama menghabiskan nikmatnya senja yang tertutup oleh bulir-bulir air deras yang turun secara bersamaan disore itu. Moment inilah yang menurutku moment paling berharga, sebab canda tawa tanpa sadarnya keluar dari mulut kami setelah mendengar guyonan dari Ayah dan cerita-cerita kocaknya. Tak sadar kopi yang kuseduh tadi perlahan-lahan mulai habis, mungkin hujan ini yang membuat kenikmatan kopi bertambah. Aku teringat dengan janji Ayah yang ingin mengajakku untuk pergi bersama mengambil printer miliku yang sedang di service, sebenarnya sudah beberapa kali kami berdua pergi kesana untuk mengambil print tersebut tapi tempat service tersebut selalu saja mengundur-ngundur waktu untuk memperbaiki print tersebut padahal mereka sudah menargetkan waktu untuk pengambilan print.
“ Ayah... jadikan sore ini pergi mengambil printer ?”, tanyaku
“Iya.. tunggu hujan reda dulu”, jawab Ayah
   Kamipun mulai melanjutkan kembali percakapan lucu kami disore itu, tak kunjung lama dari percakapan tersebut hujanpun mulai perlahan-lahan reda, tapi mendung masih menggantung di awan yang terlihat gelap. Karena mengejar waktu dan menghindari cuaca yang mungkin saja akan berubah lagi, kamipun tancap gas dan bergegas cepat menuju lokasi yang dituju. Ditengah perjalanan ternyata cuaca tak berpihak kepada kita, hujan kembali turun dengan terpaksa kami singgah sebentar untuk berteduh. Selang beberapa menit hujan reda kembali, perjalan kami lanjutkan. Setelah beberapa kali belok, lurus, belok, lurus, belok, luruuussssss, belok dan luruuuuusssssssss..... kamipun sampai ditujuan. Motor diparkir dan kamipun masuk kedalam,
“ Permisi... “, kata Ayah
Tak selang beberapa lama si pemilik toko service keluar,
“Oh, ya Pak... ada apa ya Pak?”
“Mau ambil print yang sudah diservice  itu mas”
“Oh yaa Pak, tunggu sebentar”.
   Kami berduapun menunggu sang pemilik toko mengambil print tersebut.  Lamanya bukan main, sampai-sampai kami lelah duduk dikursi yang sebenarnya kami belum ditawarkan untuk duduk, tapi karena merasa kursi adalah tempat duduk, jadi naluri duduk itupun datang dengan sendirinya. Akhirnya pemilik toko keluar dan membawa sebuah printer kusam hitam yang sudah tak terawat.
“Ini pak Printernya”, kata si Pemilik toko
“Ini sudah bisakan, untuk dipakai?” tanya Ayah
“Maaf Pak masih ada satu komponen yang harus diperbaiki, dan itu membutuhkan dana sebab kami tak mempunyai komponen tersebut”
“ Gimana sih Mas ini, Mas uda janji printernya diambil sekarang dan kesepakatan awal tidak ada biaya ini itu jika sudah mempunyai kuitansi printer ini” jawab Ayah dengan geramnya
“Sekali lagi kami minta maaf Pak” kata si Pemilik toko.
   Tanpa basa-basi dan pamit, kamipun keluar dari toko tersebut dengan membawa printer tersebut. Sesampainya diluar pandangan Ayah terpaku pada satu toko yang tepat berada disamping tempat service tersebut, ternyata itu adalah toko pat toko yang menjual berbagai macam makanan dan kurungan bintang peliharaan. Tanpa ambil pusing Ayah saya langsung masuk kedalam toko tersebut dan meninggalkan saya sendiri diluar, sambil membawa printer tersebut diluar toko terbersit pikiran dalam otakku....  kucing, hamster, kelinci kita ngak punya apalagi anjing trus ada maksud apa Ayah masuk ke toko ini. Tak lama kemudian Ayah mengajak saya untuk masuk kedalam toko tersebut, dan menyuru saya untuk menggeletakkan printer itu diteras depan toko pat itu.
“Gimana ini pri.. yang ini baguskan?”, kata Ayah
“Iya bagus, tapi untuk apa”?
“Adalah.. yang penting ini bagus kan”
Pada saat itu saya hanya bisa menggelengkan kepala dan tak tau maksud dari semua ini, tak selang beberapa lama Ayah memanggil si Pemilik toko,
“Mbak, yang ini kurungan apa?”, tanya Ayah
“Ini kurungan kucing anggora Pak”
“Ooh... harganya berapa?”
“250 Pak”
“Ngak bisa kurang Mbak?”
“Oh maaf Pak, ini sudah mentok harganya”
“Iya sudah ngak apa-apa, saya ambil ini saja dah Mbak”.
   Setelah selesai dengan pembayaran kurungan itu, kamipun langsung keluar dari toko pat tersebut dan langsung pulang menuju ke rumah. Di perjalanan saya direpotkan dengan printer dan kurungan untuk menahan beban keduanya. Kamipun akhirnya sampai dirumah, dengan penuh percaya diri Ayahpun langsung memperlihatkan ke Mama kurungan tersebut sambil mepraktekan kecanggihan bongkar pasang yang dimiliki kurungan tersebut,
“Ini kurungan untuk apa?”, tanya Mama
“Tenang saja, liat saja besok”?, jawab Ayah
“Ayah kamu ini pri.. ada-ada saja yang dibeli” lirih Mama
“Itu sudah Ma, kita lihat saja besok apa yang akan terjadi” jawabku.
   Keseokan harinya Ayah mengajak Adikku untuk pergi bersamanya disore hari, entah mereka pergi kemana pada saat itu. Saat mereka pulang, terdengar saru-saru suara kicauan anak ayam, saat kami keluar dari rumah..   jreeeeeeeeng  jreeeeeeng ..... ternyata oh ternyata Ayah membawa 7 anak ayam potong yang baru menetas, kamipun menggeleng-gelengkan kepala dan mengetahui makna dari ini semua. Dengan cekatan Ayahpun perlahan-laham memasukan satu demi satu anak ayam tersebut kedalam kurungan yang dibelinya kemarin itu. Tanpa disadari pula anak-anak ayam tersebutpun terlihat ceria dengan situasi baru dan bahagia dengan kurungan spesialnya.