Gadis cilik bernama Adin Kalimatus Sakdiyah. Adin, panggilan akrabnya. Bapak Adin, seorang petani yang
penghasilannya belum tentu cukup untuk membuat Adin dan adiknya menikmati pendidikan yang lebih baik.
Pada suatu malam, ketika hujan baru saja berhenti, aku melihat Adin tengah membimbing adiknya belajar di
ruang tamu yang hanya diterangi lampu temple itu. Adin duduk rapat di samping si adik. Dia mengajari adiknya dengan penuh cinta, kesabaran, dan kasih sayang, agar
si adik menjadi anak pintar. Adin tentunya juga berharap dan berdo’a agar si adik kelak bisa menikmati pendidikan yang lebih baik dibanding dirinya.Adin baru menamatkan pendidikannya
di Madrasah Ibtidaiyah. Seharusnya tahun ini sudah bisa sekolah di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.Tapi sungguh malang, karena ketidak mampuan orangtua Adin untuk membiayai sekolah, maka Adin pun hanya bisa diam di rumah.
Adin hanya bisa melihat teman-teman seusianya berangkat kesekolah untuk menuntut ilmu, dengan tatapan sedih. Kerinduan akan indahnya dunia pendidikan hanya sebuah impian yang
terus berkumandang di dalam hati gadis cilik ini. Adin hanya bisa pasrah menerima nasibnya. Dia tidak pernah tahu kapan kerinduan itu akan menjadi kenyataan.
Kasihan engkau, Adin, diusia semuda ini harus kehilangan kebahagiaan karena kemiskinan.Teman-teman seusiamu dari kalangan mampu, dengan mudah menggenggam kebahagiaan mengenyam pendidikan
yang mereka inginkan. Mereka yang mampu tidak akan mempermasalahkan biaya SPP anak-anaknya
yang mencapai jutaan rupiah per bulan. Anak-anak keluarga mampu bias mendapat uang saku yang
besar tiap bulannya, ditambah fasilitas telepon genggam, dan sopir pribadi. Begitu si anak pulang sekolah,
tinggal telepon sopir, dan dalam sekejap, meluncurlah mobil mewah yang siap membawa si anak pulang kerumah.
[Adin bersama Penulis, di
suatu kesempatan berfoto bersama] Lain halnya dengan Adin dan jutaan anak miskin lainnya. Mereka hanya bisa bermimpi tanpa pernah tahu kapankah impian buruk itu akan berakhir. Ironis, kerinduan yang menggema dalam hati Adin dan jutaan anak miskin lainnya di bumi Indonesia tercinta ini, terungkap dalam sebuah harapan yang
dinanti dan keluguan yang merintih.
“Lihatlah kami disini. Kami, bagian dari jutaan anak miskin yang
punya cita-cita. Namun, cita-cita itu tak akan pernah terwujud jika engkau tak pernah mencintai kami. Kami ingin menggapai cita-cita itu, walau harus dengan perjuangan maha berat. Tak peduli orang
tua kami miskin, kami akan siap meraih cita-cita itu. Tapi, apa karena miskin, maka
kami tidak bias menikmati pendidikan yang lebih baik? Dan, apakah karena miskin, maka
kami harus kehilangan masa depan yang kami dambakan?
Tolong perhatikan nasib kami,
perhatikan masa depan kami. Jangan biarkan kami tumbuh dewasa dengan bayangan hidup dirundung derita. Jangan biarkan ketika kelak kami
dewasa, hanya bias menjadi buruh tani saja. Jangan biarkan ketika kelak kami dewasa, hanya bias hidup menjadi buruh cuci di negeri tetangga. Katanya
Indonesia ini kaya raya? Gemah Ripah , LohJinawi pula? Ungkapan itu tak pernah terbukti. Karena saat ini kami, jutaan anak miskin di
negeri ini, tak bias menikmati pendidikan yang memadai.
Kembalikanlah cinta dan kepedulian
yang kalian miliki kepada kami. Berikanlah cinta dan kepedulian itu. Kami, jutaan anak miskin di negeri ini menunggu dengan penuh harap. Jangan biarkan masa depan kami terenggut hanya karena kalian
tak pernah peduli dan pura-pura tak tahu akan nasib kami. Indonesia memang negeri yang kaya, tapi
kami lebih merindukan orang dengan hati yang kaya.
Karya: Indah Pertiwi